ZATTODAY.NET – Aceh Tengah, Di permukaan, danau itu tampak tenang, Tapi di dasarnya, gelisah merayap pelan. Ada satu alat yang terus mencakar kehidupan. Cangkul Padang. Bukan milik nelayan, bukan pula lambang kerja keras. Ia adalah senjata bisu yang perlahan tapi pasti, merusak harmoni ekosistem. Kamis, 3 Juni 2025.
Konon, alat itu akan dicabut. Dengan sukarela. Katanya, sang pemilik akan membongkarnya sendiri, sebagai wujud tanggung jawab. Katanya lagi, jika tidak, negara akan turun tangan dan mencabutnya secara paksa. Tapi semua itu masih “katanya”.
Celakanya, janji dari lidah kekuasaan sering seperti daun terapung di danau: mengambang di permukaan, namun tak pernah berakar ke dasar kebenaran. Kini, tinggal dua hari menuju batas waktu. Tapi danau tetap diam. Tak ada riak, tak ada gerak, kecuali bisik-bisik angin yang membawa kabar basi dan komitmen yang menguap.
Di belakang layar, beberapa tokoh memilih menahan gejolak rakyat. Katanya demi kedamaian, Katanya demi kebaikan bersama, Maka dipilihlah jalan negosiasi meski harus menahan amarah dan mencicil rasa kecewa, Beginilah nasib para penjaga kepentingan publik, berjuang dalam sunyi, dengan risiko dicap pengkhianat hanya karena memilih bersabar demi sebuah janji.
Ironis, di negeri ini, menunda amarah demi peluang solusi bisa dianggap sebagai kelemahan. Padahal, diam juga bisa menjadi cara paling nyaring untuk melindungi harapan, agar rakyat tidak dikhianati dua kali oleh penguasa dan oleh ekspektasinya sendiri.
Kini, semua mata tertuju pada tanggal 5 Juli. Tanggal yang, entah bagaimana, sudah disakralkan oleh wacana publik. Ia bukan sekadar angka, tapi simbol penantian: penantian akan pembuktian, bukan sekadar pembicaraan.
Jika pada hari itu tak ada apa-apa yang terjadi, maka jangan salahkan siapa-siapa kalau air danau yang jernih pun ikut murka. Karena kesabaran rakyat, seperti danau juga tenang di atas, tapi siapa tahu kapan gelombang akan bangkit dari dalam?
Cangkul Padang memang hanya sepotong alat. Tapi ia kini memikul beban yang jauh lebih berat: beban kepercayaan masyarakat, beban janji kekuasaan, dan beban kehormatan bersama untuk menjaga warisan alam yang tersisa.
Dan kepada mereka yang telah berjanji ingatlah: “Menepati janji bukan soal menjaga muka, tapi menjaga makna.”
Karena jika makna itu dikhianati, maka yang akan dicabut bukan hanya alat tapi akar kepercayaan yang selama ini membuat rakyat bertahan dalam diam.
(Rel)